Di tepi pantai yang tenang aku berdiri sendiri seperti sebuah kerang kecil yang
terdampar di pasir pantai. Wajah yang dulu bercahaya dengan senyum keceriaan kini menjadi
senyum yang terdiam, tersembunyi di balik redupnya samudra dengan kesedihan yang
mendalam. Entah sudah keberapa kalinya aku berdiam diri seperti ini di tepi pantai yang
ditemani oleh debur ombak.
Akhirnya langit mulai memudar, matahari sudah memulai perjalanan pulangnya sedang
aku disini habis dilahap air-air yang sengaja berkumpul lalu menahan diri mereka sendiri untuk
tidak meluap kemana-mana. Aku mencoba memahami mereka, bahwa kesendirian bukan suatu
keputusan yang bisa dianggap matang, bukan juga suatu obsesi yang perlu dilibatkan dalam
kehidupan. Namun aku rasa apa salahnya untuk mencintai kesendirian. Keramaian sudah cukup
hinggap sebagai ingar bingar di berbagai kota sekaligus dalam kepala-kepala yang ada. Aku
tidak usahlah ikut campur dalam hal yang ramai-ramai, toh, tidak ahli pula aku jika membantu
meramaikan. Atau laut yang sekarang menemaniku juga punya ramainya sendiri? Ah, ya sudah.
Jika benar, setidaknya tidak membuatku ingin menutup telinga dengan telapak tanganku yang
basah kuyup karena memegang pasir yang kabur-kaburan.
Cengkeraman tangan kuat menggapaiku, banyak suara orang yang mampir lalu-lalang.
Suaranya terdengar panik, dan sedikit histeris aku terbangun oleh suara berisik itu yang
ternyata itu adalah suara orang-orang di pantai yang bersatu dalam sukacita dan kelegaan
karena penyelamatan yang ajaib. “Kersaning gusti nduk koe esih selamet (Karena Allah nak
kamu masih selamat).” Raut wajah bapak itu terlihat penuh kelegaan yang tidak bisa ditutupi,
serta tatapan tulus yang bahkan aku baru tau ada orang sepeduli itu terhadap sesama. “Wes
saiki koe muleh yo, arep di terke bapak po pie? kamu bisa pulang sendiri nggak? (Udah
sekarang kamu pulang ya, mau diantar atau gimana? kamu bisa pulang sendiri nggak?)” Tanya
bapak itu. “Ah gausah pak, rumah saya dekat kok.” Aku tidak mau merepotkan, apalagi kalau
orang rumah tau aku pulang dalam keadaan seperti ini, dan diantar oleh orang lain. Entah akan
bagaimana reaksi mereka.
Sejak tadi aku menapaki jalan sendiri, bagai seorang yang tersesat dalam labirin tanpa
petunjuk arah. Aku tidak suka kehidupanku, langkahku kemudian melambat, diiringi harapharap kecil bahwa entah bagaimana aku akan terus melangkah tanpa mencapai tujuan meski
aku sadar sepenuhnya bahwa hanya perlu berbelok di depan sana agar aku sampai di rumah
yang sudah lama kukenal. Aku tiba di halaman rumahku dalam keadaan basah kuyup, rambut
yang tergerai, dan pakaian yang lengket. Aku melangkah untuk membuka pintu dengan hati
yang penuh harap, namun begitu kubuka pintu itu suasana yang menyambutku sangat berbeda.
Di dalam riak keheningan itu kini tergantikan oleh cekcok yang mendalam, seperti
riuhnya angin yang menabrak dedaunan. Kejadian ini adalah salah satu alasan kenapa aku tidak
suka kehidupanku, aku kemudian berjalan pelan tidak menghiraukan mereka. Masa bodo
dengan cekcok itu, lagian jika mereka sedang cekcok seperti itu mereka tidak akan sadar aku
pergi atau pulang. Semuanya hanya dianggap seperti angin lalu.
Orang tuaku dan aku tinggal di daerah Jawa Tengah yang masih menganut adat-istiadat
jawa kuno atau yang biasa disebut kejawen, walaupun kami juga beragama islam, sebab aku
lahir di daerah Jawa Tengah yang banyak melahirkan pemahaman kompleks namun
menyenangkan. Namaku Gita, lengkapnya Gita Ayuningtyas. Setauku itu adalah jejak melodi
indah yang ibuku buat dengan harapan sederhana; semoga aku tumbuh menjadi perempuan
yang indah dari segala sisi.
*
“Gita!” Panggilan itu memecah fokusku, aku menoleh ke sumber suara. Ah, ternyata
itu Citra: Citra Dianti. Teman sebangkuku yang merangkap menjadi teman dekatku. “Kamu
dari kemaren diem aja, kamu sakit po?” Tanya Citra yang baru saja menaruh tas di tempat
duduk. “Nggak, aku biasa aja. Kamu baru sampe?” Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu
jawaban itu sengaja aku lontarkan hanya sebagai formalitas. “Iya nih, orang tuamu ribut lagi
ya? Kamu gapapa?” Rasanya aku ingin menangis mendengarnya, betapa pahamnya Citra
terhadap kondisiku. Citra tau bagaimana kondisi rumahku yang tidak selalu baik, selalu ada
cekcok setiap harinya. Entah itu karena keuangan atau apapun itu, kadang rasanya aku ingin
keluar dari rumah itu dan dunia ini. Walaupun aku tau ayah dan ibu masih tetap menyayangiku.
“Kemaren malam aku denger mereka cekcok lagi, aku cape deh rasanya dengerin itu terus.”
Aku berusaha meluapkan emosiku yang masih tertahan, tetapi memang aku tidak bisa
menceritakan apa yang aku rasakan. Aku hanya akan selalu mengeluarkan kata yang sama
setiap saat; aku cape mendengar cekcok itu. Padahal masih ada segudang kata-kata yang
melintas di relung pikiranku, merayap ingin menemukan jalannya ke luar. Namun pilihan kusut
terjalin di antara benang emosi dan aku memilih untuk memendamnya sendiri. Merajut
kerahasiaan di setiap kalimat yang tak kunjung terucap dan akhirnya aku juga tidak
menceritakan tentang malam itu, malam dimana aku dilahap oleh sekumpulan air-air itu.
Setelah seharian di sekolah, langkahku membawaku pulang, dan tanpa sengaja mataku
tertuju pada sekelompok kupu-kupu yang lembut. Mereka melayang dengan indah, lalu aku
teringat oleh kata-kata ibu yang pernah menyebut bahwa kehadiran kupu-kupu di rumah bisa
menjadi pertanda akan ada tamu. Sejenak, pikiranku melayang pada kepercayaan itu, sambil
mengamati kupu-kupu yang bermain dengan ringan di sekitar halaman rumah. Entah benar
atau tidak, tapi aku cukup menyukai kehadiran kupu-kupu yang cantik itu.
Aku membuka pintu, dan merasakan atmosfer yang berbeda, lagi-lagi aku melihat
orang tuaku yang sedang bercekcok hebat. Apa mereka tidak bosan bercekcok seperti itu? Aku
bahkan bingung apa yang sedang mereka perdebatkan. Aku berjalan ke kamarku berusaha tidak
menghiraukan mereka, saat sampai di kamar tiba-tiba semua perdebatan mereka terputar begitu
saja dipikiranku seperti kaset rusak. Aku mengepalkan tanganku kemudian memukulkannya
ke kepala berkali-kali hingga semua kenangan itu lenyap, aku tidak sanggup untuk melihat
semua kenangan buruk itu. Aku melihat gunting di atas meja kemudian tanpa berpikir panjang
aku memotong pendek rambutku. Bosan tidak melakukan apapun akhirnya aku memutuskan
untuk membaca buku, namun belum habis membaca satu buku pikiranku sudah melayang ke
buku lain. Begitu seterusnya, seperti arus tak terkendali hingga aku menyerah pada buku-buku
itu membiarkan mereka tergeletak begitu saja.
Sore kali ini aku absen untuk mengunjungi pantai, tubuhku butuh istirahat. Karena
energiku sudah terkuras habis, moodku juga sekarang menurun. Aku akan menghabiskan waktu
di dalam kamar, tidak berbicara dengan siapapun. Namun sepertinya tidak bisa, aku baru ingat
bahwa aku memiliki tugas sekolah, aku mulai membuka buku dan menulis beberapa jawaban
tapi sepertinya kali ini aku tidak bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Pikiranku sering
berkelana dan terlempar ke gelombang yang penuh kekhawatiran. Degup jantungku berdebar,
aku meremas pulpen yang sedang kupegang berusaha menenangkan pikiranku yang semakin
liar. Hingga pada akhirnya aku mengizinkan pil-pil penenang itu melewati tenggorokanku.
*
Aku terbangun dengan penuh kekecewaan, aku berharap untuk selalu tidur, dan berada
dalam pangkuan mimpi. Aku menyukai dunia mimpiku, tempat dimana aku adalah penguasa
dalam dunia yang tanpa batas. Sedang aku disini dipaksa untuk menerima semua kepahitan
yang tidak bisa aku elakkan, tercekik oleh beban ekspektasi yang menunggu dibaliknya.
“Gita tugas bu Septi udah selesai? Kalo udah liat dong, aku lupa ngerjain.” “Aku baru
setengah, baru mau kulanjutin lagi.” Percakapan itu berhenti sampai disitu. Aku dan Citra sibuk
mengerjakan tugas sebelum kelas dimulai. “Akhirnya selesai juga, kamu potong rambut ya
Git?” “Eh iyanih, iseng aja kemaren.” “Ooh, eh… Kamu tau nggak, Git. Jumat besok udah
pada mulai potong kambing terus Sabtunya larung sesajen tau.” Perayaan sedekah laut:
perayaan rutin yang dilakukan setiap bulan Suro, biasanya para nelayan akan melakukan itu
sebagai ungkapan rasa syukur dari hasil lautnya. Aku baru ingat bahwa ayah Citra berprofesi
sebagai nelayan, yang pasti akan ikut merayakan sedekah laut itu. “Berarti sabtu besok kamu
ikut ke perayaannya?” “Kayanya aku cuma nontonin deh, ayah juga nggak akan bolehin aku
ikut antar sesajen ke laut. Kamu ikut nonton yuk, nanti aku samper ke rumahmu ya!” Ajakan
yang penuh harap itu tidak bisa aku elakkan, sepertinya aku akan menemani Citra menonton
sedekah laut itu padahal biasanya aku selalu menghindari perayaan itu, membayangkan betapa
ramainya suasana nanti membuatku tiba-tiba panik, degup jantungku berdebar sangat cepat,
tanganku gemetar, bagiku keramaian bukan hanya sekedar kebisingan; itu adalah gelombang
energi yang menekanku dan menciptakan rasa kebingungan serta kecemasan yang sulit untuk
aku atasi. Melihat tanganku yang gemetar Citra kemudian menggenggam tanganku sembari
berkata, “Kalo nggak bisa gapapa.”
Sore yang baik adalah sore yang menyajikan lelapnya matahari secara perlahan. Aku
selalu menikmatinya sebagai tontonan alami yang menenangkan. Lagi-lagi aku berada di tepi
pantai menyaksikan matahari yang mulai tergelincir itu, tapi kali ini ada seorang laki-laki yang
duduk di tepi pantai yang biasanya itu adalah tempatku untuk menyendiri. Aku akhirnya
memutuskan untuk duduk di tempat lain, tapi pertanyaan yang mampir itu membuatku terdiam,
“Kamu sering kesini ya, kamu Gita kan?” Aku heran kenapa dia bisa tau namaku, padahal aku
saja belum pernah bertemu dengannya, “Siapa ya?” “Aku Aris, salam kenal.” Aku
mengangguk, kemudian berjalan pelan mencari tempat lain, toh, sebenarnya aku kesini untuk
mencari ketenangan, tidak perlu repot-repot untuk meladeni Aris.
Pertemuan singkat yang tidak terduga itu ternyata membawa percikan asing yang
menggema di antara kata-kata yang terucap, dan menciptakan babak baru dalam kisah yang
terbentang di tepi pantai yang tidak terlupakan. Setelah matahari sudah tidak terlihat, aku
kembali untuk pulang.
Hari sabtu ini langit sore dipenuhi warna oranye yang memancar dari cakrawala,
mengundangku untuk kembali ke pantai. Namun ketika aku tiba, aku dikejutkan oleh
perubahan atmosfer yang luar biasa. Pantai yang sebelumnya sunyi, kini berubah menjadi
lautan manusia yang riuh rendah. Tanganku gemetar, badanku lemas bahkan ingin berjalan saja
rasanya tidak bisa, aku ingin sekali berlari untuk menjauhi kerumunan itu namun kakiku tidak
bisa digerakkan. Tiba-tiba cengkeraman hangat membawaku berlari menjauhi kerumunan itu.
“Kamu lupa kalo hari ini larung sesajen?” Pertanyaan yang terdengar panik itu membuatku
teringat bahwa hari ini adalah hari yang dibicarakan Citra tempo lalu.
“Kamu tau? Aku sering disini, liatin kamu yang setiap pulang sekolah selalu mampir
kesini.” Aku tertegun sejenak mendengar pernyataannya, “Hah? Serius? Kok aku nggak pernah
liat kamu?” Aris kemudian terkekeh pelan, “Aku nggak kaget sih, soalnya kamu cuma fokus
sama kamu sendiri.” Aku tertawa mendengarnya, ya nggak salah sih. Kemudian mengalirlah
semua cerita tentang Aris. “Waktu kejadian kamu berusaha menenggelamkan diri pun aku tau,
Git.” Aku menatap matanya, seolah tidak percaya pasalnya aku tidak melihat Aris disana,
“Ah… Masa? Aku nggak liat kamu loh.” Aris hanya tersenyum, sungguh aku mengakui bahwa
Aris sangat tampan saat tersenyum.
“Aku juga pernah kaya kamu loh, potong rambut buat ngurangin stress, mukulin kepala,
terus minum banyak obat sampe hampir overdosis,” Pernyataannya itu membuatku
mengalihkan atensiku ke Aris sepenuhnya, tidak percaya tapi setelah dipikir-pikir semua orang
punya masa kelamnya masing-masing. “Aku bahkan pernah menenggelamkan diriku ke laut,
membiarkan diriku terbawa arus, dan terombang-ambing ombak.” “Kenapa? Kenapa kamu
lakuin itu?” Aku penasaran, pasalnya Aris terlihat sangat menikmati hidupnya. “Karena aku
nggak suka sama suasana rumahku, aku benci kehidupanku, aku benci dimana aku selalu
mendengar perdebatan yang tidak pernah berhenti.” Aku terdiam sejenak mendengar
alasannya. “Tapi aku sekarang udah berdamai, lagian hidup juga cuma sekali nggak seharusnya
aku sia-siain gitu aja.” Aku merasa Aris secara tidak langsung sedang menasihatiku, “Kamu
lagi nasihati aku ya?” Aris tertawa mendengarnya, “Hahahaha… nggak kamunya aja kali yang
ngerasa begitu.” Aku mencebikkan bibir kesal.
“Eh… Ternyata udah malem Git, kamu nggak pulang? Mau aku anterin nggak?”
Begitu melihat jam tangan yang aku gunakan aku tersentak ternyata sudah hampir jam 8
malam, sepertinya aku harus pulang. “Nggak usah aku bisa pulang sendiri, makasih
traktirannya.” Aku berteriak sambil berlari untuk pulang. Jalanan masih ramai, masih banyak
orang yang berlalu-lalang, aku menikmati suasana malam kota ini, setelah dipikir-pikir sudah
lama aku tidak menikmati suasana malam di kota ini.
Pagi ini kicauan burung terdengar saut-sautan, ibu membangunkanku lebih awal.
Sebenarnya aku masih ingin berlayar di laut mimpi, tetapi sepertinya ibu ingin aku bangun
lebih awal, entah untuk apa tujuannya. Akhirnya aku memutuskan untuk berlari pagi memutari
pemukiman warga sekitar, pagi ini banyak sekali orang yang sedang memulai aktivitasnya,
bahkan aku sudah melihat banyak senyuman yang bertebaran juga canda tawa mereka. Melihat
pemandangan ini menyadarkanku bahwa aku ini masih hidup, aku cukup menyukai perasaan
damai, dan hangat yang sekarang hinggap dihidupku. “Gita!” panggilan itu memecah fokusku,
aku menengok ternyata itu Aris yang sedang berlari pagi juga. “Tumben banget kamu lari pagi
gini?” Aris bertanya dengan heran. “Iya, lagi nyari suasana baru aja..” Aku tersenyum kikuk
menjawab pertanyaannya itu. “Kamu laper nggak? Aku tau tempat yang jual bubur ayam
enak.” Tanpa mendengar jawabanku Aris langsung menggandeng tanganku kemudian berlari
kecil ke tempat bubur ayam yang dia maksud. Ah aku tau tempat bubur ayam ini, salah satu
langgananku. “Ris, kamu duduk aja deh biar aku yang pesen.” Kemudian aku berjalan
menghampiri penjual bubur ayam, “Mas, buburnya kalih nggih (Dua ya).” Setelah menunggu
beberapa saat akhirnya penjual bubur itu menyajikan dua bubur, tetapi aku merasa aneh dengan
raut wajahnya, “Kenapa mas?” “Mbak Gita lagi laper ya, sampe pesen dua.” Aku hanya
tersenyum kikuk kemudian menoleh ke arah Aris yang sudah mulai memakan buburnya.
“Enakkan buburnya? Aku sering banget beli bubur disini.” “Aku juga sering beli disini tau.”
Aris merogoh sakunya, mencari sesuatu. “Aku aja yang bayar, Ris.” Setelah itu Aris
mengantarku pulang sampai rumah.
Sore ini aku kembali ke pantai dimana awal pertemuanku dengan Aris, aku kembali
menonton matahari yang sedang memulai perjalanan pulangnya, namun kali ini aku ditemani
oleh Aris yang menyukai senja juga sepertiku. Katanya menonton senja itu memberikan
ketenangan, dan perasaan hangat untuk dirinya, ya tidak salah sih aku juga suka menonton
senja sebagai bentuk pelampiasanku untuk menyendiri. Hingga detik ini aku cukup menyukai
kehadiran Aris dihidupku.
“Git, tumben kamu senyum-senyum sendiri, lagi good mood ya?” Aku menoleh
menatap Citra yang heran dengan sikapku pagi ini, “Citra aku kemaren ketemu sama cowo
cakep tau.” “Hah… Tumben banget kamu peduli sama gituan, Git?” Sejujurnya aku sendiri
bingung sejak kapan aku peduli dengan hal-hal seperti itu, namun aku pikir tidak ada salahnya
untuk sekedar mengagumi Aris yang kemaren sudah berbagi ceritanya denganku. “Iya sih, tapi
dia kemaren keliatan rapuh, dan kuat dalam satu waktu gitu, dia juga baik, aku sama dia kaya
ngerasa punya kesamaan gitu.” “Nggak masalah kalo kamu suka sama dia, aku malah seneng,
kamu jadi kaya Gita yang aku kenal di SMP. Kamu tau? Udah dari lama banget kamu jadi
pendiem cuma jawab seperlunya, semua masalah juga kamu pendem sendiri.” Aku tersenyum
tipis mendengarnya kemudian berjalan untuk memeluk Citra yang merupakan teman sebangku
dan sahabatku sejak SMP.
*
Sudah sebulan berlalu aku semakin sering bertemu dengan Aris, tidak hanya sekedar
menonton senja bersama tetapi kita saling bertukar cerita, aku merasa hidupku jauh lebih baik
saat aku bertemu dengannya. Aku menyukai semua hal kecil tentang Aris, tentang bagaimana
dia mendengarkan semua ceritaku, bagaimana dia selalu menanggapi ceritaku, juga bagaimana
tentang dia memperlakukanku dengan hangat, serta semua kebaikannya. Aku merasa hidupku
jauh lebih baik. Aris mengajarkanku untuk tidak menyia-nyiakan hidup yang hanya sekali ini,
masih banyak hal baru yang belum aku coba. “Kamu udah pernah cobain melukis belum? Kalo
belum cobain deh kamu pasti suka banget. Aku ngeluapin emosiku dilukisan.”
Saat ini aku sudah mulai jarang ke pantai karena beberapa alasan, salah satunya karena
sudah mendekati ujian sekolah. Aku sudah mulai fokus kepada ujianku dan mengikuti beberapa
les tambahan. Aku ingin hasil yang terbaik, bukan hanya untukku tetapi untuk ibu dan ayahku.
Hari ini hari pembagian raport, ibu yang mengambilkannya untukku. Aku bersyukur
saat ibu berkata bahwa nilaiku naik. Akhirnya sore ini aku berlari menuju pantai yang biasa
aku datangi untuk bertemu Aris, namun kali ini aku tidak bisa menemukan Aris. Biasanya Aris
sudah duduk di tepi pantai menungguku, namun aku tidak melihatnya. Besoknya aku kembali
ke pantai lagi dan aku juga tidak menemukan Aris disana. Terhitung sudah dua minggu aku
selalu menunggu kehadiran Aris, namun Aris tidak pernah ada di pantai. Aris menghilang,
tidak ada yang tau dimana Aris.
Dua bulan sudah berlalu, aku masih sama seperti sebelunya masih belum sepenuhnya
menyukai kehidupanku. Namun aku sudah menyadari beberapa hal bahwa aku sudah cukup
menyukai perasaan damai, dan hangat dihidupku ketika melihat senyuman warga, dan canda
tawa mereka. Juga aku merasa hidupku jauh lebih baik. Tidak ada yang berubah kecuali orang
tuaku yang berangsur-angsur membaik, namun sepertinya aku juga menemukan banyak
kejanggalan tentang Aris, mulai dari kejadian saat di kedai bubur ayam, serta sudah dua bulan
ini aku tidak bertemu dengan Aris. Aris menghilang, lenyap seolah-olah ditelan bumi.
Seiring berjalannya waktu aku sudah mulai bisa menceritakan tentangku ke Citra,
setelah mendengar semua ceritaku termasuk saat aku dilahap oleh sekumpulan air-air itu, Citra
memelukku dan kemudian menangis tersedu-sedu. Citra merasa aku perlu ke psikolog untuk
mengatasi kesehatan mentalku.
Setelah pulang dari sekolah aku menemui ibu, dan menceritakan banyak hal termasuk
saat aku dilahap oleh sekumpulan air-air itu, juga tentang Aris yang menemaniku, namun
sekarang Aris menghilang bagai ditelan bumi. Ibu menangis mendengar semua ceritaku,
mengucapkan banyak permohonan maaf, memelukku erat, bersyukur bahwa aku masih ada
disini bersamanya, tidak meninggalkannya. Sebenarnya aku lega bisa menceritakan semua
keluh kesahku yang selama ini aku tutup rapat-rapat dihatiku. Kemudian ibu menyetujui untuk
membawaku ke psikolog.
Sekarang disinilah aku duduk di depan Bu Zahra. Beliau adalah psikolog yang sangat
baik, yang selalu mendengarkan semua ceritaku dari awal hingga akhir. Bu Zahra juga
memberiku banyak masukan, awalnya aku ragu-ragu untuk menceritakan tentang Aris yang
sudah dua bulan ini tidak bertemu denganku. Padahal aku sangat ingin bertemu dengannya,
dan menceritakan semua hal yang terjadi padaku, setelah semua kekhawatiranku akhirnya aku
menceritakan semua tentang Aris. Setelah itu Bu Zahra memelukku dengan erat sambil
membicarakan kebenaran tentang Aris.
Aku pulang dengan pikiran kosong, dan mata sembab. Ibu memelukku erat,
mengucapkan banyak kata penenang. Aku masih mencerna semuanya, aku masih belum
mengerti, yang aku tau Aris tidak ada. Aris tidak nyata. Aris tidak hidup di dunia ini. Ayah
juga yang sedang berada di rumah berlari memelukku, aku yakin ayah sudah diberitahu oleh
ibu. “Gita sudah ya nduk, Aris itu diri Gita sendiri, Gita yang ingin hidup, dan Gita yang sudah
bisa menerima keadaan.” Aku menangis semakin kencang, masih tidak terima dengan
kenyataan bahwa Aris hanya khayalanku semata. Marah, sedih, kecewa dan takut semuanya
menjadi satu.
Empat bulan berlalu aku sudah bisa menerima keadaan, aku rutin ke psikolog untuk
melakukan terapi. Aku menahan diri untuk tidak memunculkan Gita yang lain, yang akan
muncul jika aku merasa hilang arah. Skizofrenia, istilah baru yang muncul dihidupku yang
memberikan kisah penuh kejutan juga rasa getir, aku tidak bisa memilih kehidupanku, Tuhan,
dan takdirlah yang ikut serta dalam hidupku.
Kenyataan bahwa Aris adalah diriku sendiri tidak bisa aku elakkan, seberapa banyak
aku menolak itulah keyataannya bahwa Aris adalah Gita. Aris adalah Gita yang sudah bisa
menerima keadaan, Gita yang ingin bertahan hidup, Gita yang selalu tersenyum, dan Gita yang
hobi melukis untuk meluapkan emosi, serta Gita yang lebih dewasa.
Citra adalah sahabatku sejak SMP yang tidak pernah absen untuk selalu
menyemangatiku, dan juga menemaniku. Citra menyesal telah abai dengan perilakuku yang
setiap hari semakin aneh, aku bersyukur mempunyai sahabat seperti Citra, aku bersyukur juga
mulai bisa mengenal diriku sepenuhnya.
Sekarang aku sudah menyukai hidupku, aku menikmati setiap detik yang aku lakukan,
seperti yang pernah Aris katakan “Hidup hanya sekali, dan aku tidak boleh menyianyiakannya.” Lagipula masih banyak hal baru di dunia ini yang belum pernah aku coba. Sampai
saat ini aku masih rutin meminum obat, dan melakukan terapi. Aku menerima semua cerita,
dan takdir kehidupanku apa adanya. Aku juga menyukai segala hal yang ada di dalamnya.
Apapun itu yang terlibat dengan takdirku. Aku tidak akan pernah melupakan Aris. Karena ia
akan tetap hidup di dalam hati, dan pikiranku. Dan dia adalah aku.
Penulis:
Anindya Safa
(1) Comment